Aku
bosan melihatnya terus-menerus menyakiti dirinya sendiri. Sudah ribuan kali aku
menasihatinya, mengingatkannya. Tapi, setiap nasihat yang aku sampaikan
padanya, tak selalu digubris. Bahkan, seringkali aku mendapat ancaman yang
menurutku tak masuk akal sama sekali.
“Kau
tak usah lagi jadi sahabatku, anggap aja kita gak pernah saling kenal” Kalimat
itu yang selalu dikatakannya bila aku mencegahnya melakukan hal yang tak
seharusnya ia lakukan.
“Fir,
cinta itu bukan buat ditangisi, tapi buat dinikmati.”Sergah ku ketika dia mulai
mengurung dirinya di rumah berminggu-minggu. Awalnya, ia hanya melakukan
hal-hal yang ringan untuk melampiaskan perasaan labilnya itu. Namun, tanpa aku
ketahui Firda ternyata lebih labil dari yang ku kira. Ia menghancurkan dirinya
dengan drugs
Aku
tak sanggup melihat itu semua, rasanya aku sama sekali tak berguna sebagai
seorang sahabat dekatnya selama ini. Aku sahabat tak berguna.
***
Aku
memandangi boneka Gaara (tokoh animasi) yang terpajang di atas mejaku. Hadiah
boneka pertama yang ku dapat saat aku ulang tahun. Genap 16 tahun. Satu-satunya
boneka yang aku rawat sebaik mungkin. Sebelumnya boneka-boneka yang dibelikan
ayahku semasa kecil hanya ku biarkan teronggok tak berdaya di sofa, di dapur,
di kolong meja, bahkan entah bagaimana boneka itu bisa berada di atas bak
mandi. Mungkin ada yang bermaksud untuk memandikannya. Mereka bukan boneka
lucu, tapi menjadi boneka lusuh. Karena aku sama sekali tak menyukai mainan
anak perempuan itu. Tapi boneka yang sedang ku peluk ini adalah boneka paling
istimewa yang pernah ku miliki. Aku merawatnya seperti aku merawat wajahku.
Lembut dan hati-hati. Tak ingin ada noda setitik pun menempel. Rasanya boneka
itu sudah menjadi bagian dari hidupku. Boneka itu adalah pemberian dari Firda
beberapa waktu lalu. Sebelum ia benar-benar labil seperti sekarang ini.
“Nih,
boneka buat kamu Cha,” Firda
menghampiriku sambil menyerahkan benda kecil itu.
“Wah,
dalam rangka apa nih, kamu ngasi aku boneka?” tanyaku heran. Aku memang jarang
mendapat hadiah dari siapapun kecuali dari orang tuaku. “Kado Ulang tahun
buatku ya? Kok tau aku ulang tahun lusa, aku kan gak pernah kasi tau?” lanjutku
penasaran.
“Kebetulan
pas aku lagi jalan di Mall kemarin aku liat boneka ini, tiba-tiba aku ingat
kamu suka banget sama Gaara, jadi aku beli aja.” Paparnya.
“oohh,
aku kira ini kado ulang tahun.”
“Anggap
aja ini kado ulang tahun, jadi pas hari jadi kamu lusa nanti kamu gak nagih
kado ultah lagi!” jawabnya ketus.
“Wah,
dasar aneh, tapi ya udah deh, aku cukup senang. Jarang-jarang ada yang ngasi
kado ultah sebagus ini buatku.” Dalam hati aku merasa sangat gembira. Kado itu,
kado pertama yang membuatku segembira ini.
“Kamu
emang cocok sama Gaara,Cha.” Celetuknya.
“Kenapa?
Gaara kan Cuma kartun, kok dicocok-cocokin sama aku sih?”
“Abis,
kamu itu anaknya dingin dan gak banyak omong, persis sama Gaara.”
“Iya
juga sih!”
Kami
berdua tertawa lepas. Di selasar Sekolah itulah terakhir kali aku melihat gelak
tawanya, terakhir kalinya aku merasakan kegembiraannya, terakhir kalinya juga
aku melihat deru semangatnya.
***
Lantunan
lagu Shut it Down milik Pittbull mengagetkan lamunanku. Aku menatap layar
ponsel di depanku. Di layar tertera tulisan Firda Calling. Segera ku angkat
benda persegi panjang itu.
“Firda?”
“Halo,
Cha. Lagi sibuk gak?” tanyanya dengan suara parau. Kedengaran seperti habis
menangis.
“Lagi
santai aja nih, d kamar. Kenapa Fir?”
“Gak
ada apa-apa sih, biasa bonus nelpon.” Bukan jawaban yang tepat untuk saat ini,
batinku.
“Pasti
kangen aku ya?” candaku, bermaksud ingin membuatnya tertawa.
“Udah
lihat undangan?” Suaranya kedengaran seperti seekor kucing sedang mencari
anaknya. Semakin parau.
“Ya,
itu jawaban yang jelaskan buat kamu.”
“Tapi,
Runty kemarin menemuiku Cha. Dia bilang aku boleh jadi pacarnya asalkan aku
menuruti semua keinginannya.”
“Fir,
aku kenal Runty. Sadarlah dia wanita penjerat. Dia udah mempermainkanmu. Dia
akan menikah!” Aku membentak kesal.
“Aku
mencintainya, sangat.” Desahnya membuatku semakin tak tahan. Kenapa cowok
sebaik Firda harus disakiti, kenapa Firda sebegitu dibutakan oleh cinta, kenapa
dia harus mencintai perempuan seperti Runty. Ribuan pertanyaan itu mengalir
seperti lelehan lahar panas di otakku. Aku bosan mendengarnya mengeluh soal
cinta yang membutakan hati dan pikirannya itu.
“Aku
tak tau harus ngomong apa lagi tentang masalah ini”
“Kamu
gak perlu ngomong, aku Cuma butuh telingamu untuk mendengar dan hatimu untuk
merasakannya.”
“Ya,
aku akan mendengar” aku menyerah. Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk menolong
sahabatku, menjadi pendengar yang baik. Malam itu ia mengisi telingaku dengan
semua sedih dan keluh yang ia rasakan.
***
Pertengahan
bulan Juli, resepsi pernikahan dilangsungkan. Aku tau perasaannya pada Runty
wanita idamannya begitu kuat, dan aku mencoba mencegahnya. Dia tetap saja
memaksakan diri untuk hadir. Entah apa yang akan terjadi nanti, aku hanya
pasrah. Aku menemaninya menghadiri pesta itu.
Kami
datang seperti tamu biasa, bersalaman, bercengkrama dengan teman yang kebetulan
hadir. Sesekali Firda ikut tertawa bersama mereka. Tawa yang kulihat itu bukan
tawa bahagia seorang remaja, tapi tawa yang mengalir dari mulut Firda itu
seakan menggambarkan jelas sebuah kepahitan yang dalam. Tawanya hampa. Aku
seperti sedang melihat boneka yang bisa tertawa bila ditekan tombonya.
***
Sudah
sekitar sebulan aku dan Firda tak saling kontak, dia juga tak pernah menelpon
ataupun sms sejak kami menghadiri pesta pernikahan Runty. Aku pikir mungkin dia
ingin menenangkan diri dan tak ingin diganggu siapapun. Aku juga mendengar dari
salah seorang tetangganya, dia sedang cari kerja untuk menyambung hidupnya
setelah lulus SMA. Firda hidup bersama bibinya, ibunya sudah meninggal dan
ayahnya merantau entah kemana. Aku juga tak begitu sempat menghubunginya karena
sedang sibuk mempersiapkan ujian akhir yang sudah di depan mata. Aku hanya
berharap semoga dia bisa melupakan Runty yang menurutnya adalah cinta sejati yang
dimilikinya meski Runty tak pernah memperdulikannya.
Runty
adalah teman sekelasku yang memiliki fisik yang menarik. Namun aku tak begitu
menyukai sifatnya yang angkuh. Dia memanfaatkan semua pria yang tertarik
padanya termasuk Firda. Dia telah mempermainkan Firda.
Ponsel
ku bergetar begitu aku hampir terlelap di atas tempat tidur. Aku segera membuka
sms yang baru masuk.
From
Firda:
Cha,
besok bisa ketemu gak?
Aku
membalas.
To
Firda:
Aku
gak bisa besok. Aku ada privat. Maaf.
From
Firda:
Bantu
aku Cha. Bantu aku mengobati luka ini.
To
Frida :
Aku
sahabatmu. Aku akan selalu membantumu Fir.
Tak
ada balasan. Aku benar-benar tak bisa menemuinya besok seperti permintaannya.
Aku harus mempersiapkan otakku untuk ujian yang hampir mendekat. Aku harus lulus.
Tiba-tiba
aku ingat, lusa adalah hari ulang tahun Firda. Baiklah lusa aku akan menemuinya
dan memberikan kejutan pikirku.
Aku
berniat mencarikannya kado untuk ku berikan dihari ulang tahunnya. Lama aku
berpikir untuk menemukan kado apa yang tepat untuk dihadiahkan kepada Firda
sekarang ini. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengajaknya jalan-jalan dari pada
memberinya sebuah kado.
Tiba-tiba
ponselku berbunyi. Seseorang menelponku. Nanda, tetangga Firda.
“Halo..”
“Halo,
Cha cepat ke sini?” Sambutnya.
“Ada
apa ya, Nda?” tanya ku penasaran.
“Firda
sakit, bibinya tak ada di rumah. Aku akan menjemput seorang Mantri sekarang. ”
“Dia
sakit apa?”
“Dia
pinsan, aku tak tau dia sakit apa. Tapi Cha…” Nanda tak melanjutkan.
“Tapi
kenapa, Nda? Aku semakin penasaran.
“Sepertinya
Firda.. Firda.. dia nge-drugs, aku
melihat jarum suntik berserakan di kamar dan beberapa pil di genggamannya.” Nanda terbata dan langsung memutuskan
telponnya.
Aku
kaget luar biasa. Aku tak menyangka dia bisa separah itu.
Aku
yang baru saja akan berangkat ke tempat bimbingan belajar, segera memacu sepeda
motorku menuju rumahnya. Aku melaju dengan kecepatan tinggi. Aku khawatir.
Rumahnya cukup jauh dari rumahku.
Sekitar
setengah jam perjalanan aku tiba di rumahnya. Ku tatap orang-orang yang
berbondong mendatangi rumah itu dengan penuh tanya. Aku masuk. Ku lihat di
ruang tengah sesosok tubuh terbaring tak berdaya. Aku lemas. Aku mendekati raga
yang tertutup selimut itu. Aku menatap Firda yang sudah tak bernafas.
Maaf
Firda aku bukan sahabat yang baik. aku tak bisa menolongmu. Di hari ulang
tahunmu ini pun aku tak sempat memberikan ucapan dan hadiah istimewa seperti
yang pernah kau berikan padaku beberapa waktu lalu. Aku menyesal dalam hati
karena tak bisa memenuhi janji untuk menolongnya. Selamat ulang tahun Firda.
Semoga Allah mengampuni dosamu dan bahagia di alam sana.
No comments:
Post a Comment