Tuesday, February 26, 2013

KADO YANG HILANG (Lomba Cerpen Untuk Sahabat)


Aku bosan melihatnya terus-menerus menyakiti dirinya sendiri. Sudah ribuan kali aku menasihatinya, mengingatkannya. Tapi, setiap nasihat yang aku sampaikan padanya, tak selalu digubris. Bahkan, seringkali aku mendapat ancaman yang menurutku tak masuk akal sama sekali.

“Kau tak usah lagi jadi sahabatku, anggap aja kita gak pernah saling kenal” Kalimat itu yang selalu dikatakannya bila aku mencegahnya melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan.

“Fir, cinta itu bukan buat ditangisi, tapi buat dinikmati.”Sergah ku ketika dia mulai mengurung dirinya di rumah berminggu-minggu. Awalnya, ia hanya melakukan hal-hal yang ringan untuk melampiaskan perasaan labilnya itu. Namun, tanpa aku ketahui Firda ternyata lebih labil dari yang ku kira. Ia menghancurkan dirinya dengan drugs

Aku tak sanggup melihat itu semua, rasanya aku sama sekali tak berguna sebagai seorang sahabat dekatnya selama ini. Aku sahabat tak berguna.
***

Aku memandangi boneka Gaara (tokoh animasi) yang terpajang di atas mejaku. Hadiah boneka pertama yang ku dapat saat aku ulang tahun. Genap 16 tahun. Satu-satunya boneka yang aku rawat sebaik mungkin. Sebelumnya boneka-boneka yang dibelikan ayahku semasa kecil hanya ku biarkan teronggok tak berdaya di sofa, di dapur, di kolong meja, bahkan entah bagaimana boneka itu bisa berada di atas bak mandi. Mungkin ada yang bermaksud untuk memandikannya. Mereka bukan boneka lucu, tapi menjadi boneka lusuh. Karena aku sama sekali tak menyukai mainan anak perempuan itu. Tapi boneka yang sedang ku peluk ini adalah boneka paling istimewa yang pernah ku miliki. Aku merawatnya seperti aku merawat wajahku. Lembut dan hati-hati. Tak ingin ada noda setitik pun menempel. Rasanya boneka itu sudah menjadi bagian dari hidupku. Boneka itu adalah pemberian dari Firda beberapa waktu lalu. Sebelum ia benar-benar labil seperti sekarang ini.

“Nih, boneka buat kamu Cha,”  Firda menghampiriku sambil menyerahkan benda kecil itu.
“Wah, dalam rangka apa nih, kamu ngasi aku boneka?” tanyaku heran. Aku memang jarang mendapat hadiah dari siapapun kecuali dari orang tuaku. “Kado Ulang tahun buatku ya? Kok tau aku ulang tahun lusa, aku kan gak pernah kasi tau?” lanjutku penasaran.
“Kebetulan pas aku lagi jalan di Mall kemarin aku liat boneka ini, tiba-tiba aku ingat kamu suka banget sama Gaara, jadi aku beli aja.” Paparnya.
“oohh, aku kira ini kado ulang tahun.”
“Anggap aja ini kado ulang tahun, jadi pas hari jadi kamu lusa nanti kamu gak nagih kado ultah lagi!” jawabnya ketus.
“Wah, dasar aneh, tapi ya udah deh, aku cukup senang. Jarang-jarang ada yang ngasi kado ultah sebagus ini buatku.” Dalam hati aku merasa sangat gembira. Kado itu, kado pertama yang membuatku segembira ini.

“Kamu emang cocok sama Gaara,Cha.” Celetuknya.

“Kenapa? Gaara kan Cuma kartun, kok dicocok-cocokin sama aku sih?”

“Abis, kamu itu anaknya dingin dan gak banyak omong, persis sama Gaara.”

“Iya juga sih!”
Kami berdua tertawa lepas. Di selasar Sekolah itulah terakhir kali aku melihat gelak tawanya, terakhir kalinya aku merasakan kegembiraannya, terakhir kalinya juga aku melihat deru semangatnya.

***
Lantunan lagu Shut it Down milik Pittbull mengagetkan lamunanku. Aku menatap layar ponsel di depanku. Di layar tertera tulisan Firda Calling. Segera ku angkat benda persegi panjang itu.
“Firda?”

“Halo, Cha. Lagi sibuk gak?” tanyanya dengan suara parau. Kedengaran seperti habis menangis.

“Lagi santai aja nih, d kamar. Kenapa Fir?”

“Gak ada apa-apa sih, biasa bonus nelpon.” Bukan jawaban yang tepat untuk saat ini, batinku.

“Pasti kangen aku ya?” candaku, bermaksud ingin membuatnya tertawa.

“Udah lihat undangan?” Suaranya kedengaran seperti seekor kucing sedang mencari anaknya. Semakin parau.

“Ya, itu jawaban yang jelaskan buat kamu.”

“Tapi, Runty kemarin menemuiku Cha. Dia bilang aku boleh jadi pacarnya asalkan aku menuruti semua keinginannya.”

“Fir, aku kenal Runty. Sadarlah dia wanita penjerat. Dia udah mempermainkanmu. Dia akan menikah!” Aku membentak kesal.

“Aku mencintainya, sangat.” Desahnya membuatku semakin tak tahan. Kenapa cowok sebaik Firda harus disakiti, kenapa Firda sebegitu dibutakan oleh cinta, kenapa dia harus mencintai perempuan seperti Runty. Ribuan pertanyaan itu mengalir seperti lelehan lahar panas di otakku. Aku bosan mendengarnya mengeluh soal cinta yang membutakan hati dan pikirannya itu.

“Aku tak tau harus ngomong apa lagi tentang masalah ini”

“Kamu gak perlu ngomong, aku Cuma butuh telingamu untuk mendengar dan hatimu untuk merasakannya.”

“Ya, aku akan mendengar” aku menyerah. Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk menolong sahabatku, menjadi pendengar yang baik. Malam itu ia mengisi telingaku dengan semua sedih dan keluh yang ia rasakan.

***
Pertengahan bulan Juli, resepsi pernikahan dilangsungkan. Aku tau perasaannya pada Runty wanita idamannya begitu kuat, dan aku mencoba mencegahnya. Dia tetap saja memaksakan diri untuk hadir. Entah apa yang akan terjadi nanti, aku hanya pasrah. Aku menemaninya menghadiri pesta itu.

Kami datang seperti tamu biasa, bersalaman, bercengkrama dengan teman yang kebetulan hadir. Sesekali Firda ikut tertawa bersama mereka. Tawa yang kulihat itu bukan tawa bahagia seorang remaja, tapi tawa yang mengalir dari mulut Firda itu seakan menggambarkan jelas sebuah kepahitan yang dalam. Tawanya hampa. Aku seperti sedang melihat boneka yang bisa tertawa bila ditekan tombonya.

***
Sudah sekitar sebulan aku dan Firda tak saling kontak, dia juga tak pernah menelpon ataupun sms sejak kami menghadiri pesta pernikahan Runty. Aku pikir mungkin dia ingin menenangkan diri dan tak ingin diganggu siapapun. Aku juga mendengar dari salah seorang tetangganya, dia sedang cari kerja untuk menyambung hidupnya setelah lulus SMA. Firda hidup bersama bibinya, ibunya sudah meninggal dan ayahnya merantau entah kemana. Aku juga tak begitu sempat menghubunginya karena sedang sibuk mempersiapkan ujian akhir yang sudah di depan mata. Aku hanya berharap semoga dia bisa melupakan Runty yang menurutnya adalah cinta sejati yang dimilikinya meski Runty tak pernah memperdulikannya.
Runty adalah teman sekelasku yang memiliki fisik yang menarik. Namun aku tak begitu menyukai sifatnya yang angkuh. Dia memanfaatkan semua pria yang tertarik padanya termasuk Firda. Dia telah mempermainkan Firda.
Ponsel ku bergetar begitu aku hampir terlelap di atas tempat tidur. Aku segera membuka sms yang baru masuk.
From Firda:
Cha, besok bisa ketemu gak?

Aku membalas.
To Firda:
Aku gak bisa besok. Aku ada privat. Maaf.

From Firda:
Bantu aku Cha. Bantu aku mengobati luka ini.

To Frida :
Aku sahabatmu. Aku akan selalu membantumu Fir.

Tak ada balasan. Aku benar-benar tak bisa menemuinya besok seperti permintaannya. Aku harus mempersiapkan otakku untuk ujian yang hampir mendekat. Aku harus lulus.
Tiba-tiba aku ingat, lusa adalah hari ulang tahun Firda. Baiklah lusa aku akan menemuinya dan memberikan kejutan pikirku.

Aku berniat mencarikannya kado untuk ku berikan dihari ulang tahunnya. Lama aku berpikir untuk menemukan kado apa yang tepat untuk dihadiahkan kepada Firda sekarang ini. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengajaknya jalan-jalan dari pada memberinya sebuah kado.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Seseorang menelponku. Nanda, tetangga Firda.
“Halo..”

“Halo, Cha cepat ke sini?” Sambutnya.

“Ada apa ya, Nda?” tanya ku penasaran.

“Firda sakit, bibinya tak ada di rumah. Aku akan menjemput seorang Mantri sekarang. ”

“Dia sakit apa?”

“Dia pinsan, aku tak tau dia sakit apa. Tapi Cha…” Nanda tak melanjutkan.

“Tapi kenapa, Nda? Aku semakin penasaran.

“Sepertinya Firda.. Firda.. dia nge-drugs, aku melihat jarum suntik berserakan di kamar dan beberapa pil di genggamannya. Nanda terbata dan langsung memutuskan telponnya.

Aku kaget luar biasa. Aku tak menyangka dia bisa separah itu.

Aku yang baru saja akan berangkat ke tempat bimbingan belajar, segera memacu sepeda motorku menuju rumahnya. Aku melaju dengan kecepatan tinggi. Aku khawatir. Rumahnya cukup jauh dari rumahku.

Sekitar setengah jam perjalanan aku tiba di rumahnya. Ku tatap orang-orang yang berbondong mendatangi rumah itu dengan penuh tanya. Aku masuk. Ku lihat di ruang tengah sesosok tubuh terbaring tak berdaya. Aku lemas. Aku mendekati raga yang tertutup selimut itu. Aku menatap Firda yang sudah tak bernafas.

Maaf Firda aku bukan sahabat yang baik. aku tak bisa menolongmu. Di hari ulang tahunmu ini pun aku tak sempat memberikan ucapan dan hadiah istimewa seperti yang pernah kau berikan padaku beberapa waktu lalu. Aku menyesal dalam hati karena tak bisa memenuhi janji untuk menolongnya. Selamat ulang tahun Firda. Semoga Allah mengampuni dosamu dan bahagia di alam sana.

No comments:

Post a Comment