Tuesday, February 26, 2013

DUNIA CALLISTA (Diterbitkan dalam Antolologi "Dengan Jilbab Aku Cantik")


Aku bingung dengan sikap Nasya akhir-akhir ini. Lebih sering di luar dari pada di rumah. Kalaupun ia ada di kontrakan kerjaannya hanya tidur sepanjang hari.
Aku dan Nasya tinggal dalam satu kontrakan beserta dua orang temanku lagi Callista dan Julaikha. Ketika lulus SMA, kami berempat yang awalnya tinggal di kampung sama-sama berencana untuk kuliah dan mengontrak rumah yang sama. Aku dan Nasya memutuskan untuk berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di kota. Callista memilih untuk menggali ilmu di jurusan teknik informatika ke perguruan tinggi swasta. Sedangkan Julaikha masih harus bekerja full time demi mencari biaya tambahan untuk kuliah.
Aku tidak begitu kaya, namun masih bisa dikatakan mampu. Kedua orangtuaku merupakan penghasil Kopra yang hasilnya sangat cukup untuk mebiayai aku dan adik-adikku. Orang tuaku juga termasuk orang terpandang di kampung karena keramah-tamahan dan kebaikan beliau. Aku anak sulung dari tiga bersaudara dan merupakan satu-satunya perempuan.
Nasya adalah sahabatku yang paling lama dan akrab. Kami sudah bersama sejak umur enam tahun, karena bersekolah di SD yang sama. Aku dan Nasya dulu sama-sama bertubuh mungil, tapi seiring bertambahnya usia ternyata Nasya lebih besar dan tinggi dari pada aku. Orang tuanya bekerja sebagai petani merangkap pedagang kecil-kecilan. Nasya adalah yang paling sabar di antara kami.
Callista sendiri adalah sahabat dan juga tetangga dekatku. Aku tak tau dia sahabat yang baik atau bukan. Ia memang mempunyai sifat yang sangat baik, ia dermawan, peduli dan yang paling penting ia tak pernah menyombongkan diri meskipun orang tuanya sangat kaya. Dia juga yang menyokong kekurangan dari uang kontrakan pertama kami. Tentu kami merasa tentram berteman dengan dia. Namun, yang sering membuatku kurang nyaman adalah Callista terbiasa dengan gaya hidup yang bebas. Parahnya, tak jarang ia mengajakku, Nasya ataupun Julaikha untuk menginap di rumah temannya yang seorang lelaki. Aku juga kurang memastikan apakah itu hanya temannya atau pacarnya atau apapun itu. Aku sendiri sering berdalih untuk menolak ajakannya secara lembut. Misalnya, aku beralasan untuk mengerjakan tugas, mengantuk, bahkan aku pernah mengatakan tak mau melewatkan sinetron bagus di TV. Padahal aku sama sekali tak pernah nonton sinetron. Terkadang sedikit berbohong memang perlu.
Berbeda sekali dengan Julaikha yang berasal dari keluarga broken home. Dirumahnya yang tak jauh dari rumahku hanya ada seorang adik perempuan dan seorang ibu yang menurutku sangat tegar. Beliau rela bekerja keras seharian membuat kue untuk membiayai hidupnya dan anak-anaknya. Hasilnya ia telah berhasil membantu anaknya yaitu kakak Julaikha sendiri menjadi sarjana Pendidikan yang sekarang telah menikah dan mempunyai anak. Tak sedikit orang yang kagum dengan ketegaran Ibunda Julaikha yang tetap tabah meski di tinggal suaminya bercerai demi wanita lain.
Meskipun begitu Motto kami tetap Bhineka Tunggal Ika, Berbeda-beda tetapi tetap satu.
….
“Nasya, mau kemana lagi, baru pulang kan?” Sergah ku ketika menangkap basah Nasya yang diam-diam membuka pintu depan yang telah ku kunci rapat. Ku pikir tak ada lagi yang akan keluar karena jam telah menunjukkan pukul 22.15.
Nasya sendiri terdiam memegang gagang pintu. Tiba-tiba dari depan muncul Callista dengan Matic hitamnya. “Sya… Ayo…. turun!” Serunya kepada Nasya yang masih melongo dan tampak ragu memandang ke arahku.
“Mmmmm…. Aku… aku… Kamu duluan deh Ta!” Sahut Nasya dengan nada gugup. “Aku ada barang yang ketinggalan.” Lanjutnya.
“Oke.. Ntar nyusul ya..!” Callista langsung menarik gasnya dan berlalu pergi.
“Kenapa gak jadi pergi?” Tanyaku pada Nasya yang tak bergerak dari depan pintu.
“Aku gak enak badan ……………………………………
“Mau ke mana sih Sya, udah larut ini?” Tanyaku mencoba menyelidiki.
“Aku mau ke rumah teman. Teman Callista.” Jelasnya sambil tetap mengontrol nada suaranya meskipun ekspresi wajahnya tampak berubah. Mungkin karena aku yang secara tidak langsung mencegahnya untuk mengikuti Callista. Ternyata kecurigaanku benar, Nasya yang jarang di rumah beberapa minggu ini karena ajakan Callista. Aku juga tak ingin menyalahkan Callista. Mereka berdua adalah sahabat baikku. Aku hanya ingin Nasya punya pendirian untuk tak mengikuti gaya Callista yang memang berasal dari keluarganya itu.
….
Ingatanku pada masa lalu pun kembali. Ketika aku dan Nasya sama-sama menimba ilmu agama di pondok pesantren. Ketika itu, aku tak bisa jauh dari Nasya, begitu juga sebaliknya. Meskipun kami berbeda kamar, namun aku dan nasya tetap berusaha selalu bersama. Nasya lebih rajin dalam melaksanakan kegiatan pesantren dari pada aku, Namun Nasya juga lebih sering di hokum karena sering melanggar peraturan. Misalnya ketika ketika tiba-tiba lapar sebelum jam makan, ia pergi mencari makanan di luar area yang di izinkan oleh pesantren yang kebetulan memang banyak warung-warung yang menjual beberapa jenis makanan.
………..
Tiba-tiba saja aku terbangun dari tidurku, ku putar kepala ke kanan untuk melihat jam dinding. Pukul 00.10. Aku mendengar suara Nasya dan Callista dari dalam kamar. Mereka seperti meributkan sesuatu, namun aku tak dapat mendengar jelas. Pelan-pelan aku berjalan kea rah pintu kamar. Suaranya semakin jelas. Namun ketika ku intip dari celah pintu, mereka berdua sudah damai dan berlalu keluar dari rumah mungil itu. Apa yang mereka lakukan di malam selarut ini? Dan Nasya, kenapa dia tak memakai jilbabnya dan memakai baju semi terbuka.
….
Aku tak akan membiarkan terjadi apa-apa dengan Nasya. Aku langsung meraih jaket dan jilbab. Ku pacu sepeda motorku sambil mencari-cari bayangan Nasya dan Callista. Karena sepi aku berani mengencangkan laju motorku. Akhirnya samar-samar aku melihat Nasya dan Callista di depanku. Aku pun mengikuti mereka menelusuri jalanan yang sudah sepi, sejuk dan gelap ini.
Tampak dari jauh Mereka berbelok di sebuah gedung yang  bertuliskan Guess Longue. Namun tiba-tiba sepeda motorku berhenti mendadak. Subhanallah…!! aku lupa mengisi bensin. Aku mencoba tenang dan menarik napas sekuat tenaga. Ku seret motor kesayanganku itu perlahan. Aku berbelok di jalan kecil namun masih tetap menjangkau jalan raya.
Aku berniat menelpon Nasya, namun alangkah kagetnya ketika aku meraba saku tak ku temukan ponsel Qwerty ku. Aku mendadak panik sambil menoleh kanan kiri mencari kios bensin. Di sudut lampu merah dekat gedung yang di datangi Nasya dan Callista, samar-samar dari kejauhan tampak seseorang berbaju rapi dengan kopiyahnya menuju ke arahku. Ia berbelok ke jalan kecil di tempatku menepi. Tiba-tiba aku teringat seseorang.
“Ustadz Abu…” Teriakku tepat ketika ia melintas  di sampingku. Dia menoleh dan langsung berhenti. Mungkin ia heran melihat seorang cewek sendirian di persimpangan, tengah malam pula. Ia memperhatikanku keheranan. Tak lama kemudian ia tersenyum. Tampaknya ia sudah mengenaliku.
“Kenapa Wia?” Tanyanya sambil turun dari motor besarnya. Ustadz yang satu ini memang super keren.
“Kehabisan bensin ustadz.” Jawabku sekenanya sambil menunjuk motor di sampingku.
“Memangnya kamu mau kemana Wia, malam begini sendirian?” Ia bertanya lagi seraya mendekati motorku.
“Ceritanya ….. panjang ustadz, Ustadz sendiri dari mana?” Aku bertanya balik.
“Sekarang kamu ikut saya ke rumah. Kamu boleh pinjam motor adik saya di rumah. Rumah tak jauh dari sini, kamu hanya perlu berjalan beberapa langkah, hanya berjarak tiga buah rumah dari sini” Jelasnya panjang sambil menaikki motor kesayangannya itu.
Ustadz Abu adalah Ustadz muda yang pernah mengajarkanku  Ilmu di Pesantren. Aku sangat bersemangat kalau menghadiri jadwal pengajian kitab kuningnya. Aku dan Nasya selalu di barisan paling depan. Nama sebenarnya adalah Abu Manaf, warga pesantren memanggilnya Ustadz Manaf, namun aku lebih suka memanggilnya Ustadz Abu yang menurutku nama yang special.
Aku dan Nasya memang mengidolakan Ustadz Abu Manaf. Selain rupawan, ia juga pintar dan ramah. Ia tak pernah pilih kasih terhadap santri-santri. Tidak hanya aku dan Nasya yang mengaguminya. Banyak juga santriwati lain yang berebut mencuri perhatian sang ustadz.
Belum sempat aku melangkah menyeret motorku, dari belakang ku dengar suara isak tangis seorang wanita. Aku sontak memutar kepalaku ke belakang kea rah jalan raya. Nasya?
“Nasya!” Seruku kepada wanita itu yang ternyata Nasya. Ia berjalan gontai sambil menjinjing sepatu high heelsnya. Ia menoleh dan berlari ke arahku dan langsung memelukku.
“Sudah Sya..!! ayo ikut aku dan kamu ceritakan kejadiannya nanti ya!” Aku mencoba menenangkan Nasya yang tampak shock. Awalnya aku sudah menduga ini akan terjadi. Aku tak yakin Nasya bisa bertahan dengan pesta liar Callista.
Di rumah Ustadz Abu, aku menceritakan semuanya dari awal hingga aku bertemu dengan Nasya yang menangis di jalan. Nasya bercerita bahwa dia kabur dari pesta Callista karena banyak pria yang menggodanya. Apalagi pria tersebut sudah berumur.
“ooh… begitu ya ceritanya.” Ustadz Abu mulai berpikir. “Saya mengerti kondisi remaja seperti kamu Nasya. Terkadang memang remaja seumuran kalian merasa ingin mencoba segala hal. Sampai menemukan tempat yang paling bisa membuat kalian nyaman. Jelas Ustadz Abu pada kami. Namun, alangkah baiknya kalian mampu mengendalikan keinginan itu. Beruntung kamu masih di selamatkan Allah hari ini sebelum kamu benar-benar terjerumus Nasya.” Lanjutnya.
“Ssa..Saya khilaf.” Nasya terisak sambil mengusap pipinya yang basah. Aku tetap berusaha menenangkan sambil tetap memeluknya.
“Kalau begitu lebih baik kalian pulang ke rumah dan tenangkan diri kamu Nasya. Ambil wudhu dan langsung menghadap Allah ta’ala.” Ustadz Abu menasihati dengan suara lembutnya yang khas.
“Baiklah Ustadz, kami pamit pulang. Terima kasih banyak ustadz.” Sahutku seraya membopong Nasya yang lemas untuk berdiri. “O,ya Ustadz Abu, Bagaimana dengan motornya?” Tanyaku sekenanya. Motorku sudah tak bisa kugunakan untuk sementara, karena tak ada kios di sekitar sini. Lagi pula aku tak membawa uang sepeserpun untuk membeli bahan bakar.
“Sebentar, saya keluarkan dari garasi sebelah.” Ustadz Abu bergegas ke ruangan samping yang merupakan ruang kendaraannya. “Kalian boleh pakai ini. Kebetulan besok Adik saya Safia masuk kuliahnya siang.” Tuturnya sambil menyerahkan kunci.
“Besok saya akan kembalikan pagi-pagi sekali.” Sahutku. Aku pulang membonceng Nasya yang memilih tak berkutik.
Di rumah, aku melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 02.00. Sudah hampir pagi. Sementara itu Nasya mengikuti nasihat Ustadz tercintaku itu untuk shalat dan bertafakkur di hadapan Allah. Ku perhatikan ia sampai selesai raka’at terakhir shalatnya. Ia menengadahkan tangan dan hanya terdengar suara lirih serta tangisannya. Akupun segera mengambil wudhu’ dan berencana akan beristirahat sejenak setelah menghadap Allah.
Pagi harinya, aku menyeka motor Ustadz Abu untuk menghilangkan debunya setelah ku pakai tadi malam. Terdengar dari jauh suara matic yang sudah akrab di telingaku. Callista. Dia baru pulang dari pestanya. Dia masuk begitu saja ke dalam rumah dan langsung ke kamarnya.
Aku menuju rumah Ustadz Abu membawa motor bebek hitamnya. Tiba di depan pagar rumahnya, aku melihat seorang wanita cantik yang kurang familiar di mataku. Wanita yang 

KADO YANG HILANG (Lomba Cerpen Untuk Sahabat)


Aku bosan melihatnya terus-menerus menyakiti dirinya sendiri. Sudah ribuan kali aku menasihatinya, mengingatkannya. Tapi, setiap nasihat yang aku sampaikan padanya, tak selalu digubris. Bahkan, seringkali aku mendapat ancaman yang menurutku tak masuk akal sama sekali.

“Kau tak usah lagi jadi sahabatku, anggap aja kita gak pernah saling kenal” Kalimat itu yang selalu dikatakannya bila aku mencegahnya melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan.

“Fir, cinta itu bukan buat ditangisi, tapi buat dinikmati.”Sergah ku ketika dia mulai mengurung dirinya di rumah berminggu-minggu. Awalnya, ia hanya melakukan hal-hal yang ringan untuk melampiaskan perasaan labilnya itu. Namun, tanpa aku ketahui Firda ternyata lebih labil dari yang ku kira. Ia menghancurkan dirinya dengan drugs

Aku tak sanggup melihat itu semua, rasanya aku sama sekali tak berguna sebagai seorang sahabat dekatnya selama ini. Aku sahabat tak berguna.
***

Aku memandangi boneka Gaara (tokoh animasi) yang terpajang di atas mejaku. Hadiah boneka pertama yang ku dapat saat aku ulang tahun. Genap 16 tahun. Satu-satunya boneka yang aku rawat sebaik mungkin. Sebelumnya boneka-boneka yang dibelikan ayahku semasa kecil hanya ku biarkan teronggok tak berdaya di sofa, di dapur, di kolong meja, bahkan entah bagaimana boneka itu bisa berada di atas bak mandi. Mungkin ada yang bermaksud untuk memandikannya. Mereka bukan boneka lucu, tapi menjadi boneka lusuh. Karena aku sama sekali tak menyukai mainan anak perempuan itu. Tapi boneka yang sedang ku peluk ini adalah boneka paling istimewa yang pernah ku miliki. Aku merawatnya seperti aku merawat wajahku. Lembut dan hati-hati. Tak ingin ada noda setitik pun menempel. Rasanya boneka itu sudah menjadi bagian dari hidupku. Boneka itu adalah pemberian dari Firda beberapa waktu lalu. Sebelum ia benar-benar labil seperti sekarang ini.

“Nih, boneka buat kamu Cha,”  Firda menghampiriku sambil menyerahkan benda kecil itu.
“Wah, dalam rangka apa nih, kamu ngasi aku boneka?” tanyaku heran. Aku memang jarang mendapat hadiah dari siapapun kecuali dari orang tuaku. “Kado Ulang tahun buatku ya? Kok tau aku ulang tahun lusa, aku kan gak pernah kasi tau?” lanjutku penasaran.
“Kebetulan pas aku lagi jalan di Mall kemarin aku liat boneka ini, tiba-tiba aku ingat kamu suka banget sama Gaara, jadi aku beli aja.” Paparnya.
“oohh, aku kira ini kado ulang tahun.”
“Anggap aja ini kado ulang tahun, jadi pas hari jadi kamu lusa nanti kamu gak nagih kado ultah lagi!” jawabnya ketus.
“Wah, dasar aneh, tapi ya udah deh, aku cukup senang. Jarang-jarang ada yang ngasi kado ultah sebagus ini buatku.” Dalam hati aku merasa sangat gembira. Kado itu, kado pertama yang membuatku segembira ini.

“Kamu emang cocok sama Gaara,Cha.” Celetuknya.

“Kenapa? Gaara kan Cuma kartun, kok dicocok-cocokin sama aku sih?”

“Abis, kamu itu anaknya dingin dan gak banyak omong, persis sama Gaara.”

“Iya juga sih!”
Kami berdua tertawa lepas. Di selasar Sekolah itulah terakhir kali aku melihat gelak tawanya, terakhir kalinya aku merasakan kegembiraannya, terakhir kalinya juga aku melihat deru semangatnya.

***
Lantunan lagu Shut it Down milik Pittbull mengagetkan lamunanku. Aku menatap layar ponsel di depanku. Di layar tertera tulisan Firda Calling. Segera ku angkat benda persegi panjang itu.
“Firda?”

“Halo, Cha. Lagi sibuk gak?” tanyanya dengan suara parau. Kedengaran seperti habis menangis.

“Lagi santai aja nih, d kamar. Kenapa Fir?”

“Gak ada apa-apa sih, biasa bonus nelpon.” Bukan jawaban yang tepat untuk saat ini, batinku.

“Pasti kangen aku ya?” candaku, bermaksud ingin membuatnya tertawa.

“Udah lihat undangan?” Suaranya kedengaran seperti seekor kucing sedang mencari anaknya. Semakin parau.

“Ya, itu jawaban yang jelaskan buat kamu.”

“Tapi, Runty kemarin menemuiku Cha. Dia bilang aku boleh jadi pacarnya asalkan aku menuruti semua keinginannya.”

“Fir, aku kenal Runty. Sadarlah dia wanita penjerat. Dia udah mempermainkanmu. Dia akan menikah!” Aku membentak kesal.

“Aku mencintainya, sangat.” Desahnya membuatku semakin tak tahan. Kenapa cowok sebaik Firda harus disakiti, kenapa Firda sebegitu dibutakan oleh cinta, kenapa dia harus mencintai perempuan seperti Runty. Ribuan pertanyaan itu mengalir seperti lelehan lahar panas di otakku. Aku bosan mendengarnya mengeluh soal cinta yang membutakan hati dan pikirannya itu.

“Aku tak tau harus ngomong apa lagi tentang masalah ini”

“Kamu gak perlu ngomong, aku Cuma butuh telingamu untuk mendengar dan hatimu untuk merasakannya.”

“Ya, aku akan mendengar” aku menyerah. Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk menolong sahabatku, menjadi pendengar yang baik. Malam itu ia mengisi telingaku dengan semua sedih dan keluh yang ia rasakan.

***
Pertengahan bulan Juli, resepsi pernikahan dilangsungkan. Aku tau perasaannya pada Runty wanita idamannya begitu kuat, dan aku mencoba mencegahnya. Dia tetap saja memaksakan diri untuk hadir. Entah apa yang akan terjadi nanti, aku hanya pasrah. Aku menemaninya menghadiri pesta itu.

Kami datang seperti tamu biasa, bersalaman, bercengkrama dengan teman yang kebetulan hadir. Sesekali Firda ikut tertawa bersama mereka. Tawa yang kulihat itu bukan tawa bahagia seorang remaja, tapi tawa yang mengalir dari mulut Firda itu seakan menggambarkan jelas sebuah kepahitan yang dalam. Tawanya hampa. Aku seperti sedang melihat boneka yang bisa tertawa bila ditekan tombonya.

***
Sudah sekitar sebulan aku dan Firda tak saling kontak, dia juga tak pernah menelpon ataupun sms sejak kami menghadiri pesta pernikahan Runty. Aku pikir mungkin dia ingin menenangkan diri dan tak ingin diganggu siapapun. Aku juga mendengar dari salah seorang tetangganya, dia sedang cari kerja untuk menyambung hidupnya setelah lulus SMA. Firda hidup bersama bibinya, ibunya sudah meninggal dan ayahnya merantau entah kemana. Aku juga tak begitu sempat menghubunginya karena sedang sibuk mempersiapkan ujian akhir yang sudah di depan mata. Aku hanya berharap semoga dia bisa melupakan Runty yang menurutnya adalah cinta sejati yang dimilikinya meski Runty tak pernah memperdulikannya.
Runty adalah teman sekelasku yang memiliki fisik yang menarik. Namun aku tak begitu menyukai sifatnya yang angkuh. Dia memanfaatkan semua pria yang tertarik padanya termasuk Firda. Dia telah mempermainkan Firda.
Ponsel ku bergetar begitu aku hampir terlelap di atas tempat tidur. Aku segera membuka sms yang baru masuk.
From Firda:
Cha, besok bisa ketemu gak?

Aku membalas.
To Firda:
Aku gak bisa besok. Aku ada privat. Maaf.

From Firda:
Bantu aku Cha. Bantu aku mengobati luka ini.

To Frida :
Aku sahabatmu. Aku akan selalu membantumu Fir.

Tak ada balasan. Aku benar-benar tak bisa menemuinya besok seperti permintaannya. Aku harus mempersiapkan otakku untuk ujian yang hampir mendekat. Aku harus lulus.
Tiba-tiba aku ingat, lusa adalah hari ulang tahun Firda. Baiklah lusa aku akan menemuinya dan memberikan kejutan pikirku.

Aku berniat mencarikannya kado untuk ku berikan dihari ulang tahunnya. Lama aku berpikir untuk menemukan kado apa yang tepat untuk dihadiahkan kepada Firda sekarang ini. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengajaknya jalan-jalan dari pada memberinya sebuah kado.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Seseorang menelponku. Nanda, tetangga Firda.
“Halo..”

“Halo, Cha cepat ke sini?” Sambutnya.

“Ada apa ya, Nda?” tanya ku penasaran.

“Firda sakit, bibinya tak ada di rumah. Aku akan menjemput seorang Mantri sekarang. ”

“Dia sakit apa?”

“Dia pinsan, aku tak tau dia sakit apa. Tapi Cha…” Nanda tak melanjutkan.

“Tapi kenapa, Nda? Aku semakin penasaran.

“Sepertinya Firda.. Firda.. dia nge-drugs, aku melihat jarum suntik berserakan di kamar dan beberapa pil di genggamannya. Nanda terbata dan langsung memutuskan telponnya.

Aku kaget luar biasa. Aku tak menyangka dia bisa separah itu.

Aku yang baru saja akan berangkat ke tempat bimbingan belajar, segera memacu sepeda motorku menuju rumahnya. Aku melaju dengan kecepatan tinggi. Aku khawatir. Rumahnya cukup jauh dari rumahku.

Sekitar setengah jam perjalanan aku tiba di rumahnya. Ku tatap orang-orang yang berbondong mendatangi rumah itu dengan penuh tanya. Aku masuk. Ku lihat di ruang tengah sesosok tubuh terbaring tak berdaya. Aku lemas. Aku mendekati raga yang tertutup selimut itu. Aku menatap Firda yang sudah tak bernafas.

Maaf Firda aku bukan sahabat yang baik. aku tak bisa menolongmu. Di hari ulang tahunmu ini pun aku tak sempat memberikan ucapan dan hadiah istimewa seperti yang pernah kau berikan padaku beberapa waktu lalu. Aku menyesal dalam hati karena tak bisa memenuhi janji untuk menolongnya. Selamat ulang tahun Firda. Semoga Allah mengampuni dosamu dan bahagia di alam sana.

Wednesday, January 16, 2013

Past Stories, Old and Enduring

I can only pray for you. 
Pray every time I prostrated. 
Suppose that I have a second chance to live, 
I'm just going to fight for you to to be a Sun of my life.
 Honestly I miss you, frankly I'm waiting for you. 
Because you have a peaceful soul in my sight. 
Even now, I'm not with you, 
I will pray for you in the best prayer. 
You are the secret of my life. 

Saturday, January 12, 2013

Doa Agar Mendapatkan Jodoh


ROBBI HABLII MIN LADUNKA ZAUJAN THOYYIBAN WAYAKUUNA SHOHIBAN LII FIDDIINI WADDUNYAA WAL AAKHIROH
artinya : Ya Robb berikanlah kepadaku suami yang terbaik dari sisi-Mu, suami yang juga menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia & akhirat.