Tuesday, February 26, 2013

DUNIA CALLISTA (Diterbitkan dalam Antolologi "Dengan Jilbab Aku Cantik")


Aku bingung dengan sikap Nasya akhir-akhir ini. Lebih sering di luar dari pada di rumah. Kalaupun ia ada di kontrakan kerjaannya hanya tidur sepanjang hari.
Aku dan Nasya tinggal dalam satu kontrakan beserta dua orang temanku lagi Callista dan Julaikha. Ketika lulus SMA, kami berempat yang awalnya tinggal di kampung sama-sama berencana untuk kuliah dan mengontrak rumah yang sama. Aku dan Nasya memutuskan untuk berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di kota. Callista memilih untuk menggali ilmu di jurusan teknik informatika ke perguruan tinggi swasta. Sedangkan Julaikha masih harus bekerja full time demi mencari biaya tambahan untuk kuliah.
Aku tidak begitu kaya, namun masih bisa dikatakan mampu. Kedua orangtuaku merupakan penghasil Kopra yang hasilnya sangat cukup untuk mebiayai aku dan adik-adikku. Orang tuaku juga termasuk orang terpandang di kampung karena keramah-tamahan dan kebaikan beliau. Aku anak sulung dari tiga bersaudara dan merupakan satu-satunya perempuan.
Nasya adalah sahabatku yang paling lama dan akrab. Kami sudah bersama sejak umur enam tahun, karena bersekolah di SD yang sama. Aku dan Nasya dulu sama-sama bertubuh mungil, tapi seiring bertambahnya usia ternyata Nasya lebih besar dan tinggi dari pada aku. Orang tuanya bekerja sebagai petani merangkap pedagang kecil-kecilan. Nasya adalah yang paling sabar di antara kami.
Callista sendiri adalah sahabat dan juga tetangga dekatku. Aku tak tau dia sahabat yang baik atau bukan. Ia memang mempunyai sifat yang sangat baik, ia dermawan, peduli dan yang paling penting ia tak pernah menyombongkan diri meskipun orang tuanya sangat kaya. Dia juga yang menyokong kekurangan dari uang kontrakan pertama kami. Tentu kami merasa tentram berteman dengan dia. Namun, yang sering membuatku kurang nyaman adalah Callista terbiasa dengan gaya hidup yang bebas. Parahnya, tak jarang ia mengajakku, Nasya ataupun Julaikha untuk menginap di rumah temannya yang seorang lelaki. Aku juga kurang memastikan apakah itu hanya temannya atau pacarnya atau apapun itu. Aku sendiri sering berdalih untuk menolak ajakannya secara lembut. Misalnya, aku beralasan untuk mengerjakan tugas, mengantuk, bahkan aku pernah mengatakan tak mau melewatkan sinetron bagus di TV. Padahal aku sama sekali tak pernah nonton sinetron. Terkadang sedikit berbohong memang perlu.
Berbeda sekali dengan Julaikha yang berasal dari keluarga broken home. Dirumahnya yang tak jauh dari rumahku hanya ada seorang adik perempuan dan seorang ibu yang menurutku sangat tegar. Beliau rela bekerja keras seharian membuat kue untuk membiayai hidupnya dan anak-anaknya. Hasilnya ia telah berhasil membantu anaknya yaitu kakak Julaikha sendiri menjadi sarjana Pendidikan yang sekarang telah menikah dan mempunyai anak. Tak sedikit orang yang kagum dengan ketegaran Ibunda Julaikha yang tetap tabah meski di tinggal suaminya bercerai demi wanita lain.
Meskipun begitu Motto kami tetap Bhineka Tunggal Ika, Berbeda-beda tetapi tetap satu.
….
“Nasya, mau kemana lagi, baru pulang kan?” Sergah ku ketika menangkap basah Nasya yang diam-diam membuka pintu depan yang telah ku kunci rapat. Ku pikir tak ada lagi yang akan keluar karena jam telah menunjukkan pukul 22.15.
Nasya sendiri terdiam memegang gagang pintu. Tiba-tiba dari depan muncul Callista dengan Matic hitamnya. “Sya… Ayo…. turun!” Serunya kepada Nasya yang masih melongo dan tampak ragu memandang ke arahku.
“Mmmmm…. Aku… aku… Kamu duluan deh Ta!” Sahut Nasya dengan nada gugup. “Aku ada barang yang ketinggalan.” Lanjutnya.
“Oke.. Ntar nyusul ya..!” Callista langsung menarik gasnya dan berlalu pergi.
“Kenapa gak jadi pergi?” Tanyaku pada Nasya yang tak bergerak dari depan pintu.
“Aku gak enak badan ……………………………………
“Mau ke mana sih Sya, udah larut ini?” Tanyaku mencoba menyelidiki.
“Aku mau ke rumah teman. Teman Callista.” Jelasnya sambil tetap mengontrol nada suaranya meskipun ekspresi wajahnya tampak berubah. Mungkin karena aku yang secara tidak langsung mencegahnya untuk mengikuti Callista. Ternyata kecurigaanku benar, Nasya yang jarang di rumah beberapa minggu ini karena ajakan Callista. Aku juga tak ingin menyalahkan Callista. Mereka berdua adalah sahabat baikku. Aku hanya ingin Nasya punya pendirian untuk tak mengikuti gaya Callista yang memang berasal dari keluarganya itu.
….
Ingatanku pada masa lalu pun kembali. Ketika aku dan Nasya sama-sama menimba ilmu agama di pondok pesantren. Ketika itu, aku tak bisa jauh dari Nasya, begitu juga sebaliknya. Meskipun kami berbeda kamar, namun aku dan nasya tetap berusaha selalu bersama. Nasya lebih rajin dalam melaksanakan kegiatan pesantren dari pada aku, Namun Nasya juga lebih sering di hokum karena sering melanggar peraturan. Misalnya ketika ketika tiba-tiba lapar sebelum jam makan, ia pergi mencari makanan di luar area yang di izinkan oleh pesantren yang kebetulan memang banyak warung-warung yang menjual beberapa jenis makanan.
………..
Tiba-tiba saja aku terbangun dari tidurku, ku putar kepala ke kanan untuk melihat jam dinding. Pukul 00.10. Aku mendengar suara Nasya dan Callista dari dalam kamar. Mereka seperti meributkan sesuatu, namun aku tak dapat mendengar jelas. Pelan-pelan aku berjalan kea rah pintu kamar. Suaranya semakin jelas. Namun ketika ku intip dari celah pintu, mereka berdua sudah damai dan berlalu keluar dari rumah mungil itu. Apa yang mereka lakukan di malam selarut ini? Dan Nasya, kenapa dia tak memakai jilbabnya dan memakai baju semi terbuka.
….
Aku tak akan membiarkan terjadi apa-apa dengan Nasya. Aku langsung meraih jaket dan jilbab. Ku pacu sepeda motorku sambil mencari-cari bayangan Nasya dan Callista. Karena sepi aku berani mengencangkan laju motorku. Akhirnya samar-samar aku melihat Nasya dan Callista di depanku. Aku pun mengikuti mereka menelusuri jalanan yang sudah sepi, sejuk dan gelap ini.
Tampak dari jauh Mereka berbelok di sebuah gedung yang  bertuliskan Guess Longue. Namun tiba-tiba sepeda motorku berhenti mendadak. Subhanallah…!! aku lupa mengisi bensin. Aku mencoba tenang dan menarik napas sekuat tenaga. Ku seret motor kesayanganku itu perlahan. Aku berbelok di jalan kecil namun masih tetap menjangkau jalan raya.
Aku berniat menelpon Nasya, namun alangkah kagetnya ketika aku meraba saku tak ku temukan ponsel Qwerty ku. Aku mendadak panik sambil menoleh kanan kiri mencari kios bensin. Di sudut lampu merah dekat gedung yang di datangi Nasya dan Callista, samar-samar dari kejauhan tampak seseorang berbaju rapi dengan kopiyahnya menuju ke arahku. Ia berbelok ke jalan kecil di tempatku menepi. Tiba-tiba aku teringat seseorang.
“Ustadz Abu…” Teriakku tepat ketika ia melintas  di sampingku. Dia menoleh dan langsung berhenti. Mungkin ia heran melihat seorang cewek sendirian di persimpangan, tengah malam pula. Ia memperhatikanku keheranan. Tak lama kemudian ia tersenyum. Tampaknya ia sudah mengenaliku.
“Kenapa Wia?” Tanyanya sambil turun dari motor besarnya. Ustadz yang satu ini memang super keren.
“Kehabisan bensin ustadz.” Jawabku sekenanya sambil menunjuk motor di sampingku.
“Memangnya kamu mau kemana Wia, malam begini sendirian?” Ia bertanya lagi seraya mendekati motorku.
“Ceritanya ….. panjang ustadz, Ustadz sendiri dari mana?” Aku bertanya balik.
“Sekarang kamu ikut saya ke rumah. Kamu boleh pinjam motor adik saya di rumah. Rumah tak jauh dari sini, kamu hanya perlu berjalan beberapa langkah, hanya berjarak tiga buah rumah dari sini” Jelasnya panjang sambil menaikki motor kesayangannya itu.
Ustadz Abu adalah Ustadz muda yang pernah mengajarkanku  Ilmu di Pesantren. Aku sangat bersemangat kalau menghadiri jadwal pengajian kitab kuningnya. Aku dan Nasya selalu di barisan paling depan. Nama sebenarnya adalah Abu Manaf, warga pesantren memanggilnya Ustadz Manaf, namun aku lebih suka memanggilnya Ustadz Abu yang menurutku nama yang special.
Aku dan Nasya memang mengidolakan Ustadz Abu Manaf. Selain rupawan, ia juga pintar dan ramah. Ia tak pernah pilih kasih terhadap santri-santri. Tidak hanya aku dan Nasya yang mengaguminya. Banyak juga santriwati lain yang berebut mencuri perhatian sang ustadz.
Belum sempat aku melangkah menyeret motorku, dari belakang ku dengar suara isak tangis seorang wanita. Aku sontak memutar kepalaku ke belakang kea rah jalan raya. Nasya?
“Nasya!” Seruku kepada wanita itu yang ternyata Nasya. Ia berjalan gontai sambil menjinjing sepatu high heelsnya. Ia menoleh dan berlari ke arahku dan langsung memelukku.
“Sudah Sya..!! ayo ikut aku dan kamu ceritakan kejadiannya nanti ya!” Aku mencoba menenangkan Nasya yang tampak shock. Awalnya aku sudah menduga ini akan terjadi. Aku tak yakin Nasya bisa bertahan dengan pesta liar Callista.
Di rumah Ustadz Abu, aku menceritakan semuanya dari awal hingga aku bertemu dengan Nasya yang menangis di jalan. Nasya bercerita bahwa dia kabur dari pesta Callista karena banyak pria yang menggodanya. Apalagi pria tersebut sudah berumur.
“ooh… begitu ya ceritanya.” Ustadz Abu mulai berpikir. “Saya mengerti kondisi remaja seperti kamu Nasya. Terkadang memang remaja seumuran kalian merasa ingin mencoba segala hal. Sampai menemukan tempat yang paling bisa membuat kalian nyaman. Jelas Ustadz Abu pada kami. Namun, alangkah baiknya kalian mampu mengendalikan keinginan itu. Beruntung kamu masih di selamatkan Allah hari ini sebelum kamu benar-benar terjerumus Nasya.” Lanjutnya.
“Ssa..Saya khilaf.” Nasya terisak sambil mengusap pipinya yang basah. Aku tetap berusaha menenangkan sambil tetap memeluknya.
“Kalau begitu lebih baik kalian pulang ke rumah dan tenangkan diri kamu Nasya. Ambil wudhu dan langsung menghadap Allah ta’ala.” Ustadz Abu menasihati dengan suara lembutnya yang khas.
“Baiklah Ustadz, kami pamit pulang. Terima kasih banyak ustadz.” Sahutku seraya membopong Nasya yang lemas untuk berdiri. “O,ya Ustadz Abu, Bagaimana dengan motornya?” Tanyaku sekenanya. Motorku sudah tak bisa kugunakan untuk sementara, karena tak ada kios di sekitar sini. Lagi pula aku tak membawa uang sepeserpun untuk membeli bahan bakar.
“Sebentar, saya keluarkan dari garasi sebelah.” Ustadz Abu bergegas ke ruangan samping yang merupakan ruang kendaraannya. “Kalian boleh pakai ini. Kebetulan besok Adik saya Safia masuk kuliahnya siang.” Tuturnya sambil menyerahkan kunci.
“Besok saya akan kembalikan pagi-pagi sekali.” Sahutku. Aku pulang membonceng Nasya yang memilih tak berkutik.
Di rumah, aku melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 02.00. Sudah hampir pagi. Sementara itu Nasya mengikuti nasihat Ustadz tercintaku itu untuk shalat dan bertafakkur di hadapan Allah. Ku perhatikan ia sampai selesai raka’at terakhir shalatnya. Ia menengadahkan tangan dan hanya terdengar suara lirih serta tangisannya. Akupun segera mengambil wudhu’ dan berencana akan beristirahat sejenak setelah menghadap Allah.
Pagi harinya, aku menyeka motor Ustadz Abu untuk menghilangkan debunya setelah ku pakai tadi malam. Terdengar dari jauh suara matic yang sudah akrab di telingaku. Callista. Dia baru pulang dari pestanya. Dia masuk begitu saja ke dalam rumah dan langsung ke kamarnya.
Aku menuju rumah Ustadz Abu membawa motor bebek hitamnya. Tiba di depan pagar rumahnya, aku melihat seorang wanita cantik yang kurang familiar di mataku. Wanita yang 

No comments:

Post a Comment