Seakan lagu yang kau teriakkan adalah derma yang tak
dapat dihargakan dengan jenis logam apapun. Batinku tak henti berdoa agar aku suatu saat
bisa menyambutmu dengan jabatan serta pelukan sehangat mungkin, sama seperti
kesetiaan bayangan yang menemanimu setiap waktu.
…
Bukankah kita pernah bermain di pantai, ingat ? kita
menggali pasir dan menjadikannya bukit dan kau tuliskan nama kita di sana
kemudian kita abadikan dengan sebuah foto. Aku juga mengingat ketika sebatang bambu
panjang hanyut ke arah ku yang sedang menyusuri pantai senja, seketika itu kau
bergegas mengambil bambu itu dan menjauhkannya dariku. Dan kau kembali ke
permainan bola pantai. Sedang aku terdiam. Semua kebaikanmu tak akan menjadi
abu dalam ingatanku. Perhatian dan sikap pedulimu akan selalu tergaris sebagai
tinta abadi dalam memoriku.
Bukankah kita pernah menjadi panitia dalam suatu
acara. Apa kau tau di tengah kesibukanku melancarkan acara, aku tak lekang
memperhatikanmu yang juga tak kalah sibuknya. Dan aku tertegun ketika ditengah
kesibukan itu kau mengingatkanku untuk makan siang. Hingga petang itu acara
berakhir, kau memintaku untuk pulang, sementara aku masih menyusun perangkat
yang terserak. Entah kenapa aku menyesal tak menurutinya, kau pulang dengan si
Hitam, Kuda besi besar. Meski bagimu itu hanya perlakuan-perlakuan biasa, tapi
aku bisa merasakannya sebagai kebaikan yang amat istimewa. Dan terbukti karena
aku telah menuliskannya. Kebaikan yang akan selalu ku ceritakan kepada
orang-orang Sebagai sebuah teladan.
Bukankah sangat banyak hari istimewa yang pernah
kita lalui. Sampai datangnya Hari itu, aku amat terpukul. Aku tak sanggup lagi
menahan tamparan keras di hatiku setiap kali bertemu dan berbicara denganmu.
Tamparan yang menyuruhku untuk secepatnya bilang bahwa kau adalah orang
istimewa di hatiku. Bahwa kau adalah matahari kedua dalam hidupku yang
dianugerahkan tuhan. Aku hanya berani
menuliskannya sebagai sebuah pesan di akunmu. Tapi ternyata itu membawa
masalah, tak begitu lama aku menyatakan itu semua, seorang wanita menyerangku
dengan kata-katanya dalam sebuah tulisan. Aku diharuskan untuk menjauhimu. Aku
meminta izin untuk tetap mencintaimu, bahkan hanya mencintaimu tanpa meminta
tepukan sebelah tanganmu sebagai balasan. tapi itu dibantah keras oleh wanita itu,
aku tetap kalah. Aku menangis. Kau tetap baik padaku, bahkan tak sedikitpun
menganggapku berbeda dari sebelumnya. Kau sama, kau bijak. Kau tak membuatku
menjadi orang yang memalukan. Meski aku harusnya malu,
Tahun-tahun berlalu menyampaikan barisan sejarah.
Hingga sekarang, tepatnya tiga tahun lamanya aku tak pernah lelah untuk tiap
kali berdoa agar rasa yang istimewa ini menjadi alamat yang indah untuk
hidupku.
No comments:
Post a Comment