Friday, March 09, 2012

My Soul In Sunset


Seakan lagu yang kau teriakkan adalah derma yang tak dapat dihargakan dengan jenis logam apapun.  Batinku tak henti berdoa agar aku suatu saat bisa menyambutmu dengan jabatan serta pelukan sehangat mungkin, sama seperti kesetiaan bayangan yang menemanimu setiap waktu.
Bukankah kita pernah bermain di pantai, ingat ? kita menggali pasir dan menjadikannya bukit dan kau tuliskan nama kita di sana kemudian kita abadikan dengan sebuah foto. Aku juga mengingat ketika sebatang bambu panjang hanyut ke arah ku yang sedang menyusuri pantai senja, seketika itu kau bergegas mengambil bambu itu dan menjauhkannya dariku. Dan kau kembali ke permainan bola pantai. Sedang aku terdiam. Semua kebaikanmu tak akan menjadi abu dalam ingatanku. Perhatian dan sikap pedulimu akan selalu tergaris sebagai tinta abadi dalam memoriku.
Bukankah kita pernah menjadi panitia dalam suatu acara. Apa kau tau di tengah kesibukanku melancarkan acara, aku tak lekang memperhatikanmu yang juga tak kalah sibuknya. Dan aku tertegun ketika ditengah kesibukan itu kau mengingatkanku untuk makan siang. Hingga petang itu acara berakhir, kau memintaku untuk pulang, sementara aku masih menyusun perangkat yang terserak. Entah kenapa aku menyesal tak menurutinya, kau pulang dengan si Hitam, Kuda besi besar. Meski bagimu itu hanya perlakuan-perlakuan biasa, tapi aku bisa merasakannya sebagai kebaikan yang amat istimewa. Dan terbukti karena aku telah menuliskannya. Kebaikan yang akan selalu ku ceritakan kepada orang-orang Sebagai sebuah teladan.
Bukankah sangat banyak hari istimewa yang pernah kita lalui. Sampai datangnya Hari itu, aku amat terpukul. Aku tak sanggup lagi menahan tamparan keras di hatiku setiap kali bertemu dan berbicara denganmu. Tamparan yang menyuruhku untuk secepatnya bilang bahwa kau adalah orang istimewa di hatiku. Bahwa kau adalah matahari kedua dalam hidupku yang dianugerahkan tuhan.  Aku hanya berani menuliskannya sebagai sebuah pesan di akunmu. Tapi ternyata itu membawa masalah, tak begitu lama aku menyatakan itu semua, seorang wanita menyerangku dengan kata-katanya dalam sebuah tulisan. Aku diharuskan untuk menjauhimu. Aku meminta izin untuk tetap mencintaimu, bahkan hanya mencintaimu tanpa meminta tepukan sebelah tanganmu sebagai balasan. tapi itu dibantah keras oleh wanita itu, aku tetap kalah. Aku menangis. Kau tetap baik padaku, bahkan tak sedikitpun menganggapku berbeda dari sebelumnya. Kau sama, kau bijak. Kau tak membuatku menjadi orang yang memalukan. Meski aku harusnya malu,
Tahun-tahun berlalu menyampaikan barisan sejarah. Hingga sekarang, tepatnya tiga tahun lamanya aku tak pernah lelah untuk tiap kali berdoa agar rasa yang istimewa ini menjadi alamat yang indah untuk hidupku. 

No comments:

Post a Comment