Aku bingung
dengan sikap Nasya akhir-akhir ini. Lebih sering di luar dari pada di rumah.
Kalaupun ia ada di kontrakan kerjaannya hanya tidur sepanjang hari.
Aku dan Nasya
tinggal dalam satu kontrakan beserta dua orang temanku lagi Callista dan
Julaikha. Ketika lulus SMA, kami berempat yang awalnya tinggal di kampung
sama-sama berencana untuk kuliah dan mengontrak rumah yang sama. Aku dan Nasya
memutuskan untuk berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di kota.
Callista memilih untuk menggali ilmu di jurusan teknik informatika ke perguruan
tinggi swasta. Sedangkan Julaikha masih harus bekerja full time demi mencari biaya tambahan untuk kuliah.
Aku tidak begitu
kaya, namun masih bisa dikatakan mampu. Kedua orangtuaku merupakan penghasil
Kopra yang hasilnya sangat cukup untuk mebiayai aku dan adik-adikku. Orang
tuaku juga termasuk orang terpandang di kampung karena keramah-tamahan dan
kebaikan beliau. Aku anak sulung dari tiga bersaudara dan merupakan
satu-satunya perempuan.
Nasya adalah
sahabatku yang paling lama dan akrab. Kami sudah bersama sejak umur enam tahun,
karena bersekolah di SD yang sama. Aku dan Nasya dulu sama-sama bertubuh
mungil, tapi seiring bertambahnya usia ternyata Nasya lebih besar dan tinggi
dari pada aku. Orang tuanya bekerja sebagai petani merangkap pedagang
kecil-kecilan. Nasya adalah yang paling sabar di antara kami.
Callista sendiri
adalah sahabat dan juga tetangga dekatku. Aku tak tau dia sahabat yang baik
atau bukan. Ia memang mempunyai sifat yang sangat baik, ia dermawan, peduli dan
yang paling penting ia tak pernah menyombongkan diri meskipun orang tuanya
sangat kaya. Dia juga yang menyokong kekurangan dari uang kontrakan pertama
kami. Tentu kami merasa tentram berteman dengan dia. Namun, yang sering
membuatku kurang nyaman adalah Callista terbiasa dengan gaya hidup yang bebas.
Parahnya, tak jarang ia mengajakku, Nasya ataupun Julaikha untuk menginap di
rumah temannya yang seorang lelaki. Aku juga kurang memastikan apakah itu hanya
temannya atau pacarnya atau apapun itu. Aku sendiri sering berdalih untuk
menolak ajakannya secara lembut. Misalnya, aku beralasan untuk mengerjakan
tugas, mengantuk, bahkan aku pernah mengatakan tak mau melewatkan sinetron
bagus di TV. Padahal aku sama sekali tak pernah nonton sinetron. Terkadang
sedikit berbohong memang perlu.
Berbeda sekali
dengan Julaikha yang berasal dari keluarga broken
home. Dirumahnya yang tak jauh dari rumahku hanya ada seorang adik
perempuan dan seorang ibu yang menurutku sangat tegar. Beliau rela bekerja
keras seharian membuat kue untuk membiayai hidupnya dan anak-anaknya. Hasilnya
ia telah berhasil membantu anaknya yaitu kakak Julaikha sendiri menjadi sarjana
Pendidikan yang sekarang telah menikah dan mempunyai anak. Tak sedikit orang
yang kagum dengan ketegaran Ibunda Julaikha yang tetap tabah meski di tinggal
suaminya bercerai demi wanita lain.
Meskipun begitu
Motto kami tetap Bhineka Tunggal Ika, Berbeda-beda tetapi tetap satu.
….
“Nasya, mau
kemana lagi, baru pulang kan?” Sergah ku ketika menangkap basah Nasya yang
diam-diam membuka pintu depan yang telah ku kunci rapat. Ku pikir tak ada lagi
yang akan keluar karena jam telah menunjukkan pukul 22.15.
Nasya sendiri
terdiam memegang gagang pintu. Tiba-tiba dari depan muncul Callista dengan Matic hitamnya. “Sya… Ayo…. turun!”
Serunya kepada Nasya yang masih melongo dan tampak ragu memandang ke arahku.
“Mmmmm…. Aku…
aku… Kamu duluan deh Ta!” Sahut Nasya dengan nada gugup. “Aku ada barang yang
ketinggalan.” Lanjutnya.
“Oke.. Ntar
nyusul ya..!” Callista langsung menarik gasnya dan berlalu pergi.
“Kenapa gak jadi
pergi?” Tanyaku pada Nasya yang tak bergerak dari depan pintu.
“Aku gak enak
badan ……………………………………
“Mau ke mana sih
Sya, udah larut ini?” Tanyaku mencoba menyelidiki.
“Aku mau ke
rumah teman. Teman Callista.” Jelasnya sambil tetap mengontrol nada suaranya
meskipun ekspresi wajahnya tampak berubah. Mungkin karena aku yang secara tidak
langsung mencegahnya untuk mengikuti Callista. Ternyata kecurigaanku benar,
Nasya yang jarang di rumah beberapa minggu ini karena ajakan Callista. Aku juga
tak ingin menyalahkan Callista. Mereka berdua adalah sahabat baikku. Aku hanya
ingin Nasya punya pendirian untuk tak mengikuti gaya Callista yang memang
berasal dari keluarganya itu.
….
Ingatanku pada
masa lalu pun kembali. Ketika aku dan Nasya sama-sama menimba ilmu agama di
pondok pesantren. Ketika itu, aku tak bisa jauh dari Nasya, begitu juga
sebaliknya. Meskipun kami berbeda kamar, namun aku dan nasya tetap berusaha
selalu bersama. Nasya lebih rajin dalam melaksanakan kegiatan pesantren dari
pada aku, Namun Nasya juga lebih sering di hokum karena sering melanggar
peraturan. Misalnya ketika ketika tiba-tiba lapar sebelum jam makan, ia pergi
mencari makanan di luar area yang di izinkan oleh pesantren yang kebetulan
memang banyak warung-warung yang menjual beberapa jenis makanan.
………..
Tiba-tiba saja
aku terbangun dari tidurku, ku putar kepala ke kanan untuk melihat jam dinding.
Pukul 00.10. Aku mendengar suara Nasya dan Callista dari dalam kamar. Mereka
seperti meributkan sesuatu, namun aku tak dapat mendengar jelas. Pelan-pelan
aku berjalan kea rah pintu kamar. Suaranya semakin jelas. Namun ketika ku intip
dari celah pintu, mereka berdua sudah damai dan berlalu keluar dari rumah
mungil itu. Apa yang mereka lakukan di malam selarut ini? Dan Nasya, kenapa dia
tak memakai jilbabnya dan memakai baju semi terbuka.
….
Aku tak akan
membiarkan terjadi apa-apa dengan Nasya. Aku langsung meraih jaket dan jilbab.
Ku pacu sepeda motorku sambil mencari-cari bayangan Nasya dan Callista. Karena
sepi aku berani mengencangkan laju motorku. Akhirnya samar-samar aku melihat
Nasya dan Callista di depanku. Aku pun mengikuti mereka menelusuri jalanan yang
sudah sepi, sejuk dan gelap ini.
Tampak dari jauh
Mereka berbelok di sebuah gedung yang
bertuliskan Guess Longue. Namun
tiba-tiba sepeda motorku berhenti mendadak. Subhanallah…!! aku lupa mengisi
bensin. Aku mencoba tenang dan menarik napas sekuat tenaga. Ku seret motor
kesayanganku itu perlahan. Aku berbelok di jalan kecil namun masih tetap menjangkau
jalan raya.
Aku berniat
menelpon Nasya, namun alangkah kagetnya ketika aku meraba saku tak ku temukan
ponsel Qwerty ku. Aku mendadak panik
sambil menoleh kanan kiri mencari kios bensin. Di sudut lampu merah dekat
gedung yang di datangi Nasya dan Callista, samar-samar dari kejauhan tampak
seseorang berbaju rapi dengan kopiyahnya menuju ke arahku. Ia berbelok ke jalan
kecil di tempatku menepi. Tiba-tiba aku teringat seseorang.
“Ustadz Abu…”
Teriakku tepat ketika ia melintas di
sampingku. Dia menoleh dan langsung berhenti. Mungkin ia heran melihat seorang
cewek sendirian di persimpangan, tengah malam pula. Ia memperhatikanku
keheranan. Tak lama kemudian ia tersenyum. Tampaknya ia sudah mengenaliku.
“Kenapa Wia?”
Tanyanya sambil turun dari motor besarnya. Ustadz yang satu ini memang super
keren.
“Kehabisan
bensin ustadz.” Jawabku sekenanya sambil menunjuk motor di sampingku.
“Memangnya kamu
mau kemana Wia, malam begini sendirian?” Ia bertanya lagi seraya mendekati
motorku.
“Ceritanya …..
panjang ustadz, Ustadz sendiri dari mana?” Aku bertanya balik.
“Sekarang kamu
ikut saya ke rumah. Kamu boleh pinjam motor adik saya di rumah. Rumah tak jauh
dari sini, kamu hanya perlu berjalan beberapa langkah, hanya berjarak tiga buah
rumah dari sini” Jelasnya panjang sambil menaikki motor kesayangannya itu.
Ustadz Abu
adalah Ustadz muda yang pernah mengajarkanku
Ilmu di Pesantren. Aku sangat bersemangat kalau menghadiri jadwal
pengajian kitab kuningnya. Aku dan Nasya selalu di barisan paling depan. Nama
sebenarnya adalah Abu Manaf, warga pesantren memanggilnya Ustadz Manaf, namun
aku lebih suka memanggilnya Ustadz Abu yang menurutku nama yang special.
Aku dan Nasya
memang mengidolakan Ustadz Abu Manaf. Selain rupawan, ia juga pintar dan ramah.
Ia tak pernah pilih kasih terhadap santri-santri. Tidak hanya aku dan Nasya
yang mengaguminya. Banyak juga santriwati lain yang berebut mencuri perhatian
sang ustadz.
Belum sempat aku
melangkah menyeret motorku, dari belakang ku dengar suara isak tangis seorang
wanita. Aku sontak memutar kepalaku ke belakang kea rah jalan raya. Nasya?
“Nasya!” Seruku
kepada wanita itu yang ternyata Nasya. Ia berjalan gontai sambil menjinjing
sepatu high heelsnya. Ia menoleh dan
berlari ke arahku dan langsung memelukku.
“Sudah Sya..!!
ayo ikut aku dan kamu ceritakan kejadiannya nanti ya!” Aku mencoba menenangkan
Nasya yang tampak shock. Awalnya aku
sudah menduga ini akan terjadi. Aku tak yakin Nasya bisa bertahan dengan pesta
liar Callista.
Di rumah Ustadz
Abu, aku menceritakan semuanya dari awal hingga aku bertemu dengan Nasya yang
menangis di jalan. Nasya bercerita bahwa dia kabur dari pesta Callista karena
banyak pria yang menggodanya. Apalagi pria tersebut sudah berumur.
“ooh… begitu ya
ceritanya.” Ustadz Abu mulai berpikir. “Saya mengerti kondisi remaja seperti
kamu Nasya. Terkadang memang remaja seumuran kalian merasa ingin mencoba segala
hal. Sampai menemukan tempat yang paling bisa membuat kalian nyaman. Jelas
Ustadz Abu pada kami. Namun, alangkah baiknya kalian mampu mengendalikan
keinginan itu. Beruntung kamu masih di selamatkan Allah hari ini sebelum kamu
benar-benar terjerumus Nasya.” Lanjutnya.
“Ssa..Saya
khilaf.” Nasya terisak sambil mengusap pipinya yang basah. Aku tetap berusaha
menenangkan sambil tetap memeluknya.
“Kalau begitu
lebih baik kalian pulang ke rumah dan tenangkan diri kamu Nasya. Ambil wudhu
dan langsung menghadap Allah ta’ala.” Ustadz Abu menasihati dengan suara
lembutnya yang khas.
“Baiklah Ustadz,
kami pamit pulang. Terima kasih banyak ustadz.” Sahutku seraya membopong Nasya
yang lemas untuk berdiri. “O,ya Ustadz Abu, Bagaimana dengan motornya?” Tanyaku
sekenanya. Motorku sudah tak bisa kugunakan untuk sementara, karena tak ada
kios di sekitar sini. Lagi pula aku tak membawa uang sepeserpun untuk membeli
bahan bakar.
“Sebentar, saya
keluarkan dari garasi sebelah.” Ustadz Abu bergegas ke ruangan samping yang
merupakan ruang kendaraannya. “Kalian boleh pakai ini. Kebetulan besok Adik
saya Safia masuk kuliahnya siang.” Tuturnya sambil menyerahkan kunci.
“Besok saya akan
kembalikan pagi-pagi sekali.” Sahutku. Aku pulang membonceng Nasya yang memilih
tak berkutik.
Di rumah, aku
melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 02.00. Sudah hampir pagi. Sementara
itu Nasya mengikuti nasihat Ustadz tercintaku itu untuk shalat dan bertafakkur
di hadapan Allah. Ku perhatikan ia sampai selesai raka’at terakhir shalatnya.
Ia menengadahkan tangan dan hanya terdengar suara lirih serta tangisannya.
Akupun segera mengambil wudhu’ dan berencana akan beristirahat sejenak setelah
menghadap Allah.
Pagi harinya,
aku menyeka motor Ustadz Abu untuk menghilangkan debunya setelah ku pakai tadi
malam. Terdengar dari jauh suara matic yang sudah akrab di telingaku. Callista.
Dia baru pulang dari pestanya. Dia masuk begitu saja ke dalam rumah dan
langsung ke kamarnya.
Aku menuju rumah
Ustadz Abu membawa motor bebek hitamnya. Tiba di depan pagar rumahnya, aku
melihat seorang wanita cantik yang kurang familiar di mataku. Wanita yang