Aku selalu belajar jujur, dan pelajaran terbesar tentang
kejujuran aku dapat darimu. Tapi terkadang kejujuran itu amat menyakitkan.
Sekali lagi amat menyakitkan. Dan kejujuranmu kali ini ini memang tak bias
dipungkiri membuat awan hatiku bertumpuk menghitam.
Ketika keyakinanku mulai menyusun barisan bata membentuk
tembok, seketika itu pula dengan sedikit tepukan tembok itu meretak tak
bersuara. Terbias janji-janji masa lalu yang tak luput membayang di pekat emosi
para penagih.
Aku bukan putri atapun cucu dari sang Kahlil Gibran yang
mungkin mampu membuat kata-kata pemikat jiwa. Tapi aku hanya ingin mengeluarkan
kata-kata sebagai wakil untuk pinta ku
Tidur di antara celah lenganmu, bersandar di sela hangatmu,
semburan-semburan tawa pun tangisan, terlanjur menjadi musim-musim dalam
minggu-minggu yang kian berlanjut.
No comments:
Post a Comment